Dulu, rumah bercat hijau itu kami tinggali berempat. Aku, nenek,
kakek, dan ibu. Kalau kau tanya di mana ayahku? Aku tak punya jawaban. Nenek
pun tidak. Hanya ibu yang tahu persis siapa ayah kandungku. Dan aku pun tidak
pernah berhasrat menanyakan perihal ayah kepadanya.
Sejak aku lahir, kakeklah figur ayah bagiku. Meski beliau yang
tua dan rapuh lebih banyak tergolek di balai-balai daripada membawaku pergi ke
taman bermain. Sesekali, beliau duduk di kursi goyang, sambil menyipitkan kedua
matanya, berusaha memperhatikanku yang sedang disuapi oleh nenek. Penglihatan
kakek memang terganggu. Tak lama sejak didiagnosa dokter menderita diabetes,
beliau menderita glaukoma. Malam-malam, jika sedang kambuh, kakek akan terus
mengerang dan mengeluhkan matanya yang sakit. Selang beberapa menit kemudian,
beliau akan muntah-muntah dan tergolek lemah di balai-balai yang telah dilapisi
matras.
Ketika nada erangan kakek
mulai meninggi, aku hafal betul, nenek pasti akan memanggil dan memintaku untuk
mengambilkan botol obat tetes mata bertuliskan Eserine di lemari tengah. Seusai
menyelesaikan tugas kecil itu, aku kembali bergelung di ranjang. Dari balik
korden kamar yang usang, aku selalu terharu memandangi nenek yang setia merawat
kakek hingga fajar menjelang kemudian.
***
Ibuku, kau tahu? Dia sangat cantik. Suaranya merdu. Rambutnya
yang sepunggung, hitam legam bak bulu gagak. Setiap wanita pasti akan iri saat
memandang wajahnya yang jelita. Setiap lelaki pasti akan jatuh cinta melihat
lekuk tubuhnya yang molek. Namun, menurut pendapatku, ia tak lebih dari seorang
wanita tolol. Kecantikan dan suaranya yang mendayu, hanya bisa mengantarkannya
menjadi biduanita kelas teri. Bersama grup musik keliling, ia menyanyi dari
desa ke desa. Kata nenek, ketika masih belia, banyak pemuda bersahaja datang
melamarnya. Namun, ia justru jatuh cinta pada seorang lelaki tak beridentitas.
Percintaan ibu dengan lelaki itu pun membuahkanku. Tanpa nama ayah di surat kelahiran, aku pun
menghirup udara dunia yang tak seramah rahim ibu.
Ketika aku berumur empat tahun, reputasi ibu sebagai biduan naik
daun. Ia tak lagi menyanyi di panggung keliling, melainkan menjadi penyanyi
tetap di sebuah bar di Yogyakarta. Awalnya, ibu pulang seminggu sekali, dengan
membawa banyak hadiah untukku. Lama-lama ibu pulang sebulan sekali, lalu tiga
bulan sekali, dan akhirnya aku tak lagi bisa menghitung berapa lama ibu pergi.
“Aku tidak mau boneka lagi! Aku mau ibu di sini!” aku ingat,
usiaku lima
tahun saat aku menangis menjerit-jerit, menyaksikan ibu beranjak pergi dari
pintu rumah untuk kesekian kali.
“Ibu pergi agar kau bisa sekolah saat kau besar nanti,” bujuknya
lembut.
“Aku tidak mau sekolah. Aku hanya mau ibu!” teriakanku makin
melengking.
***
“Mbak, belok ke kanan atau ke kiri?” suara sopir taksi
membuyarkan lamunanku.
“Ke kiri, Pak! Nanti di sebelah kiri, ada gapura warna hitam,
masuk kira-kira dua ratus meter,” jawabku dengan suara berat.
Taksi yang kutumpangi dari Bandara Adisutjipto, Yogyakarta , semakin mendekati rumah nenek yang terlihat
mulai lapuk dan mengelupas catnya di mana-mana. Rumah itu kini hanya dihuni
oleh nenek seorang. Kakekku sudah meninggal jauh sebelum aku meninggalkan
rumah. Beberapa bulan kemudian, ibuku pun meninggal. Saat itu, aku baru
menginjak usia dua belas. Sanak saudara berdatangan untuk berbela sungkawa.
Termasuk adik nenek yang menikah dengan seorang prajurit Belanda dan tinggal di
Groningen ,
Belanda. Tepat tujuh hari setelah ibu meninggal, aku ikut adik nenek untuk
bersekolah dan tinggal di negeri kincir angin itu.
***
Ketika taksi berhenti di depan rumah, nenek sedang sibuk dengan
rajutan dan setumpuk benang wol di pangkuannya. Wanita tua itu terkesiap
melihatku turun dari taksi. Sontak, ia bangkit dari kursi goyangnya, dan
berlari kecil menghampiriku. Ada
segunung kerinduan yang terpancar dari kedua bola matanya yang terbingkai
kacamata presbiopi.
“Mala! Oh….Mala cucuku!” serunya berbaur dengan suara tangis
mengharu biru. “Rasanya lama sekali nenek menunggumu pulang, Mala. Kau sekarang
betul-betul sudah dewasa,” lanjut nenek sambil menyeka air matanya.
“Aku merindukan nenek,” balasku sambil memeluk tubuh rentanya.
“Syukurlah, kini kau sudah pulang,” ujarnya sambil mengelus
rambutku. Kerinduan kami selama sepuluh tahun pun melebur ke dalam sebuah
pelukan hangat tiada tara .
Malam harinya, aku tiduran di pangkuan nenek. Nyaman rasanya.
Kuhirup dalam-dalam aroma khas kain jarit yang dipakai oleh nenek. Masih sama
seperti dulu.
“Kau tak ingin menjenguk Kus?” pertanyaan nenek membuatku
tersentak.
“Om Kus?” tanyaku datar.
“Semestinya kau menjenguknya, Mala. Dulu kau sangat sayang
padanya bukan? Datanglah ke pondoknya esok pagi, sebelum ia berobat,”
“Berobat?”
***
Keesokan paginya, aku mengunjungi lelaki yang nenek sebut dengan
nama Kus. Sewaktu kecil dulu, aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Om
Koko. Jika kebetulan ia menjadi wali yang mengambil raporku di sekolah, dengan
bangga aku akan memperkenalkannya kepada teman-temanku sambil menyebutkan nama
lengkapnya, yang hanya terdiri dari satu suku kata. Kuswidiatmoko.
Kata para tetangga, Om Koko adalah kekasih ibu. Mereka saling
jatuh cinta karena Om Koko selalu mengiringi ibu menyanyi di panggung dengan
piano klasiknya. Meski aku menyayangi lelaki bertubuh atletis itu, tapi aku
sama sekali tidak berharap kelak ia menjadi ayah tiriku.
Pondok Om Koko sangat teduh. Dikelilingi oleh pagar kayu yang
dililit oleh bunga Alamanda. Sayup-sayup kudengar suara tuts piano beradu
dengan pedal. Permainan itu amat akrab di telingaku. Meski terlambat
mendengarkan untaian nada-nada itu, tetapi aku hafal judulnya di luar kepala.
Tristesse, gubahan Frederic Chopin, komposer favorit Om Koko.
***
“Om, bisakah suatu saat nanti aku bermain piano seperti Om ?” tanyaku padanya ketika usiaku masih sepuluh tahun.
Tubuhku yang mungil tampak tenggelam saat berdiri di samping grand piano
akustik berwarna hitam mengkilat milik Om Koko.
“Tentu saja kamu bisa,” jawabnya meyakinkan.
“Mainkan satu lagu untukku, Om !
Aku juga ingin memainkannya dalam mimpiku nanti,” ujarku sembari melemparkan
novel berjudul ’Buku Catatan Josephine’ yang belum selesai kubaca ke sofa.
“Mmmm…baiklah. Om mainkan sebuah lagu pengantar tidur untukmu,” bisiknya
penuh sayang. Aku menyandarkan tubuhku di sofa, bersiap mendengarkan dia
memainkan jemarinya di atas tuts gradded hammeryang tebal
dan kokoh.
“Apa judulnya?”
“Tristesse,” jawabnya lembut.
“Tristesse?” tanyaku sambil berusaha mengeja.
“Ya, Tristesse. Kata itu berasal dari bahasa Perancis, yang
artinya kesedihan. Komposisi ini juga dikenal dengan sebutan Etude Op. 10 No
3,” tutur Om Koko sambil tersenyum. Kedua lesung pipinya terlihat semakin
cekung, menghiasi wajah tampannya yang terbungkus oleh jambang samar.
Perlahan, alunan Tristesse mengantarkanku ke dunia bawah sadar.
Anehnya, ketika aku terlelap sembari mendengarkan melodi itu dengan cermat, aku
memimpikan diriku sendiri memainkannya. Jemari tanganku yang lentik dan lincah
menari-nari di atas tuts piano. Sejenak, aku pun melupakan Eserine, nama obat
tetes mata kakek yang baru saja kutemukan di novel yang beberapa menit lalu
menyita perhatianku.
***
Aku terhenyak. Peristiwa bertahun silam itu melesat cepat
menembus memoriku. Kuayunkan satu langkah kaki mendekati pintu bercat cokelat
di hadapanku. Aku mengintip dari jendela. Mataku terpaku pada sosok lelaki
dengan helai-helai rambut berwarna kelabu.
“Permisi!” seruanku ternyata tak membuat lelaki itu berhenti
memainkan Tristesse. Agaknya, ia terlampau menikmati setiap gerakan jarinya
yang menekan tuts-tuts berat piano Steinway di hadapannya.
“Permisi!” seruku sekali lagi dengan nada sedikit kutinggikan.
Tampak seorang wanita paruh baya menghampiri pintu sambil
mengelap tangannya dengan celemek yang melilit perutnya. Wanita itu membukakan
pintu untukku. Sesaat, ia terdiam sambil berusaha mencermati wajahku.
“Kumala…kaukah itu?” seru si wanita seolah tak percaya.
“Iya, ini aku, Mak!” balasku bersemangat.
“Mala, Emak sangat merindukanmu,” ujar wanita bertubuh kurus itu
sambil mendekapku erat. “Kau betul-betul sudah dewasa Mala. Dan kau amat mirip
dengan Maya, ibumu,” lanjutnya. Aku pun hanya tersenyum tipis mendengar kalimat
yang terlontar dari bibirnya.
Dulu, Mak Min atau yang kerap kupanggil Emak itu sering datang
untuk mengasuhku, jika kebetulan nenek sedang repot mengurus kakek yang
sakit-sakitan.
“Sejak kapan Mak Min bekerja di pondok ini?” tanyaku mengalihkan
pembicaraan.
“Sejak ibumu meninggal dan kamu pergi ke negara kompeni, Emak
ikut Den Kus. Apalagi sejak kehilangan Maya, ibumu, pikiran Den Kus jadi agak
terganggu. Tubuhnya juga jadi sakit-sakitan. Keluarga Den Kus lalu mengupah
Emak untuk mengurusnya karena tak sanggup merawatnya sendiri.”
“Jadi, karena itu Om Koko harus berobat?”
“Iya, setiap sebulan sekali Den Kus menjalani terapi kejiwaan.
Selain itu juga harus bolak-balik rumah sakit untuk berobat lambungnya yang terkena
infeksi.”
“Infeksi?”
“Kata dokter, lambung Den Kus mengalami infeksi kronis. Kalau
penyakit pikirannya sedang kambuh, ia bisa tak makan selama berhari-hari. Jadi
lambungnya pun ikut-ikutan rusak,” ujar Mak Min prihatin.
Ketika aku dan Mak Min sedang serius berbincang, tiba-tiba dari
balik untaian korden manik-manik muncul seorang lelaki paruh baya berwajah
kuyu.
“Mak, siapa yang datang?” seru lelaki itu dengan suara parau“Eh, ini Den! Ada tamu ingin
menjenguk Aden ,”
jawab Emak dengan nada serba salah. Mungkin Emak takut membangkitkan kenangan
pahit Om Koko akan masa lalunya bersama wanita yang ia cintai, yang tak lain
adalah ibuku sendiri.“Maya?” seru Om Koko ketika melihat bayangan tubuhku
mendekatinya.“Bukan, Om aku Kumala bukan
Maya. Om sudah lupa padaku?”“Maya! Maya, aku sangat merindukanmu,” jawab Om Koko sambil
berusaha memeluk tubuhku.Mendadak aku tak mampu membendung air mata yang terus saja
menganaksungai di kedua pipiku. Aku sadar, aku menangis bukan karena sedih
mengenang ibuku, melainkan kecewa karena Om Koko terus saja menganggapku
sebagai dirinya.
***
Sepuluh tahun yang lalu. Suatu
hari, dari balik jendela pondok Om Koko, kulihat ibuku yang cantik jelita duduk
di sampingnya menghadap piano. Ibu dengan sepasang tangannya yang berkulit kuning
langsat, lengkap dengan sepuluh jemari lentiknya, memainkan tuts-tuts piano. Di
banding seminggu sebelumnya, permainan piano ibu kali itu sudah lebih baik. Om
Koko bersorak girang sambil mencium kening ibu, ketika ibu berhasil memainkan
sebuah lagu dengan kunci accord sederhana.Aku tidak menyukai pemandangan mesra itu! Aku benci karena ibu bisa belajar bermain piano bersama Om Koko,
sedangkan aku tidak. Kebencian itu semakin tak terkendali tatkala kupandangi
kedua lenganku yang hanya sebatas siku orang normal, dengan dua tonjolan daging
yang lebih mirip kue kaastengels dibanding ibu jari dan kelingking.Aku tidak bisa belajar bermain piano, itu salah ibu! Aku bisa
berkata begitu karena aku kerap mendengar para tetangga bergunjing. Kata
mereka, aku cacat akibat ibu yang pernah berusaha keras menggugurkanku ketika
masih dalam kandungan. Tapi, kini aku cukup puas karena takdir berkata lain.
Aku tidak mati di tangan ibu, melainkan sebaliknya.
Mungkin hanya nenek satu-satunya yang menyadari, kalau ibu meninggal
setelah meminum sirup lemon yang kubawakan untuknya. Sirup lemon yang sudah
kucampur dengan banyak-banyak Eserine, sisa obat glaukoma kakek yang tertinggal
di lemari. Untuk itulah, nenek mengirimku jauh ke Belanda, agar tak ada yang
bisa menyalahkanku atas kematian ibu.
Mungkin aku harus berterima kasih pada Josephine, tokoh gadis
berusia dua belas tahun yang ada di novel yang kubaca itu. Atau sebetulnya,
ibulah yang menyebabkan kematiannya sendiri, karena dialah yang menghadiahiku
novel itu. Jadi, bukan salahku kalau aku meniru cara Josephine yang meracuni
kakeknya, Aristide Leonides, dengan obat tetes mata yang namanya sama dengan
obat kakek.Sayang sekali, ibu memang tak pernah menyadari telah melahirkan
anak cacat yang kelewat cerdas, sehingga aku pun berhasil meracuninya dengan
obat tetes mata itu. Dan dengan begitu, aku bisa memiliki Om Koko untuk
selamanya, tanpa ada ibu sebagai pengganggu.Kebon Jeruk,source : http://cerpenkompas.wordpress.com/?s=piano+
0 komentar:
Posting Komentar